Home

Monday, January 16, 2017

KERAGAMAN SUKU JAWA TENGAH

Keanekaragaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat di Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki berbagai macam kebudayaan yang berbeda-beda tiap daerah. Tetapi seiring denga kemajuan zaman, kebudayaan daerah yang sudah dipegang teguh  dan dipelihara sejak dulu kini mulai dilupakan.Hal ini disebabkan karena pada umumnya maasyarakat merasa malu apabila masih menggunakan budaya local ditengah-tengah kemajuan teknologi saat ini. Mereka lebih memilih untuk menggunakan budaya modern. Padahal budaya daerah sendiri merupakan pagar diri untuk menjalani kehidupan di dunia ini karena kebudayaan daerah menyimpan nilai-nilai dan norma kehidupan.

Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai “jantung” budaya Jawa. Meskipun demikian di provinsi ini ada pula suku bangsa lain yang memiliki budaya yang berbeda dengan suku Jawa seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat. Selain ada pula warga Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi ini.
Kebudayaan yang ada di wilayah Provinsi Jawa Tengah mayoritas merupakan kebudayaan Jawa, namun terdapat pula kantong-kantong kebudayaan Sunda di wilayah sebelah barat yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat terutama di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap
Jawa Tengah adalah propinsi dimana budaya jawa banyak berkembang disini karena di Jawa Tengah dahulu banyak kerajaan berdiri disini itu terlihat dari berbagai peninggalan candi di Jawa Tengah.
Kebudayaan Jawa merupakan salah satu sosok kebudayaan yang tua. Kebudayaan Jawa mengakar di Jawa Tengah bermula dari kebudayaan nenek moyang yang bermukim di tepian Sungai Bengawan Solo pada ribuan tahun sebelum Masehi. Fosil manusia Jawa purba yang kini menghuni Museum Sangiran di Kabupaten Sragen, merupakan saksi sejarah, betapa tuanya bumi Jawa Tengah sebagai kawasan pemukiman yang dengan sendirinya merupakan suatu kawasan budaya. Dari kebudayaan purba itulah kemudian tumbuh dan berkembang sosok kebudayaan Jawa klasik yang hingga kini terus bergerak menuju kebudayaan Indonesia.

A.     Suku
Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah dikenal sebagai pusat budaya Jawa, di mana di kota Surakarta dan Yogyakarta terdapat pusat istana kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini.
Suku minoritas yang cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di kawasan perkotaan meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan. Pada umumnya mereka bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Komunitas Tionghoa sudah berbaur dengan Suku Jawa, dan banyak di antara mereka yang menggunakan Bahasa Jawa dengan logat yang kental sehari-harinya. Pengaruh kental bisa kita rasakan saat berada di kota Semarang serta kota Lasem yang berada di ujung timur laut Jawa Tengah, bahkan Lasem dijuluki Le Petit Chinois atau Kota Tiongkok Kecil.
Selain itu di beberapa kota-kota besar di Jawa Tengah ditemukan pula komunitas Arab-Indonesia. Mirip dengan komunitas Tionghoa, mereka biasanya bergerak di bidang perdagangan dan jasa.
Di daerah perbatasan dengan Jawa Barat terdapat pula orang Sunda yang sarat akan budaya Sunda, terutama di wilayah Cilacap, Brebes, dan Banyumas. Di pedalaman Blora (perbatasan dengan provinsi Jawa Timur) terdapat komunitas Samin yang terisolir, yang kasusnya hampir sama dengan orang Kanekes di Banten.

B.      Agama
Sebagian besar penduduk Jawa Tengah beragama Islam yang umumnya dikategorikan ke dalam dua golongan, yaitu kaum Santri dan Abangan. Kaum santri mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat Islam, sedangkan kaum abangan walaupun menganut Islam namun dalam praktiknya masih terpengaruh Kejawen yang kuat. Agama lain yang dianut adalah Kristen (Protestan dan Katolik), Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, dan aliran kepercayaan lainnya. Provinsi Jawa Tengah merupakan pusat penyebaran Kristen dan Katolik di Pulau Jawa. Seperti di Magelang, Surakarta dan Salatiga yang memiliki populasi umat Kristen sekitar 15% hingga 25%.

C.      Adat istiadat
 Adat istiadat adalah sebuah kebudayaan yang sudah menjadi tradisi pada setiap masyarakat yang sudah menjadi ketentuan daerah tersebut. Salah satu contoh sebuah adat istiadat yang masih dilakukan pada sebuah daerah, yaitu adat istiadat yang terjadi pada masyarakat suku jawa tengah.
Ada beberapa adat istiadat yang biasa dilakukan oleh masyarakat jawa tengah terutama yang terdapat pada seseorang yang sudah berumah tangga. Seorang ibu yang menginginkan seorang anak, akan tetapi belum juga dikasih maka seorang ibu tersebut mengadakan yang dinamakan mupu, mupu yaitu memungut anak. Tujuannya agar menyebabkan hamilnya seorang ibu yang memungut anak. Pada saat ibu hamil, jika wajahnya terlihat tidak bersih dan tidak tampak cantik seperti biasanya, maka dapat disimpulkan bahwa anaknya adalah laki-laki, akan tetapi, jika ibu wajahnya tampak bersih dan tampak cantik maka dapat disimpulkan bahwa anaknya perempuan.
Ketika seorang ibu hamil memasuki kehamilannya yang 7 bulan, maka akan diadakan acara tujuh bulanan atau mitoni. Tujuannya yaitu agar seorang calon bayi dan calon ibu sehat dan lancar dalam persalinan nanti. Pada tujuh bulanan ada beberapa ritual yang dilakukan, salah satunya yaitu calon ibu di mandikan dengan air yang diambil dari tujuh sumber yang berbeda dan juga ditambahkan bunga tujuh macam agar wangi. Ada juga masyarakat yang hanya merayakan tujuh bulanan ini dengan acara selamatan khataman quran. Karena simpel tidak terlalu ribet. Pada tujuh bulanan ini pasa masa sekarang tidak hanya dilakukan pasa suku jawa, akan tetapi ada suku lain juga yang mengikuti adat suku jawa ini.
Pada saat seorang bayi itu lahir, maka akan diadakan selametan, biasanya sering juga disebut dengan brokohan. Pada saat brokohan dilakukan, maka disediakan nasi tumpeng lengkap dengan sayur dan lauk pauknya. Pada saat seorang bayi berusia 35 hari, maka diadakan acara selametan selapanan, pada acara selapanan, rambut seorang bayi akan dipotong habis. Tujuannya agar rambut bayi tersebut akan tumbuh lebat.
Adat selanjunya yaitu tedak-siten. Adat ini dilakukan ketika seorang bayi beusia 8 atau 9 bulan. Adat seperti ini yaitu dimana seorang bayi untuk pertama kalinya menginjak kakinya ke atas tanah. Dalam pelaksanaan tedak siten ini orang tua harus membantu dengan menuntun sang anak untuk berjalan diatas cobekan yang didalamnya berisi sesaji makanan sejenis dodol yang terbuat dari bahan beras ketan berwarna putih dan merah serta beras kuning. Setelah itu sang anak diturunkan ke atas tanah dengan dibimbing oleh orang tuanya. Kemudian ibu dan sang anak masuk di dalam kurungan anak, didalam kurungan tersebut tersedia berbagai mainan yang bisa dipilih oleh sang anak.
Ketika menjelang remaja, tiba waktunya seorang anak ditetaki atau dikhitan.
Adat istiadat tersebut selalu dilakukan oleh masyarakat suku jawa. Tradisi ini masih selalu dilakukan oleh suku jawa setiap pertumbuhan sang bayi, sejak lahir yang selalu diadakan acara-acara yang sudah menjadi tradisi suku jawa sampai seorang anak tersebut memasuki tetaki atau khitan.

D.     Bahasa
Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar penduduk jawa tengah menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Dialek Solo-Jogja atau Mataram dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar.
Di samping itu terdapat sejumlah dialek Bahasa Jawa; namun secara umum terdiri dari dua, yakni kulonan dan timoran. Kulonan dituturkan di bagian barat Jawa Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal; dialek ini memiliki pengucapan yang cukup berbeda dengan Bahasa Jawa Standar. Sedang Timuran dituturkan di bagian timur Jawa Tengah, di antaranya terdiri atas Dialek Mataram (Solo-Jogja), Dialek Semarang, dan Dialek Pati. Di antara perbatasan kedua dialek tersebut, dituturkan Bahasa Jawa dengan campuran kedua dialek; daerah tersebut di antaranya adalah Pekalongan dan Kedu.
Di wilayah-wilayah berpopulasi Sunda, yaitu di kabupaten Brebes bagian selatan, dan kabupaten Cilacap utara sekitar kecamatan Dayeuhluhur, orang Sunda masih menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-harinya.
Berbagai macam dialek Bahasa Jawa yang terdapat di Jawa Tengah :
1.      Dialek Pekalongan (Kota PekalonganKabupaten PekalonganKabupaten Batang).
2.      Dialek Kedu (Kabupaten MagelangKabupaten TemanggungKabupaten WonosoboKota Magelang dan sebagian Kabupaten Kebumen).
3.      Dialek Bagelen (Kabupaten Purworejo dan sebagian Kabupaten Kebumen).
4.      Dialek Semarangan (Kota SemarangKabupaten SemarangKota SalatigaKabupaten KendalKabupaten Demak).
5.      Dialek Muria/Pantura Timur (Kabupaten JeparaKabupaten RembangKabupaten KudusKabupaten Pati).
6.      Dialek Blora (Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora).
7.      Dialek Surakarta (Kota Surakarta, Kabupaten Klaten, Kabupaten SragenKabupaten WonogiriKabupaten BoyolaliKabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar).
8.      Dialek Banyumasan (Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten PurbalinggaKabupaten KebumenKabupaten Cilacap).
9.      Dialek Tegal (Kota TegalKabupaten TegalKabupaten BrebesKabupaten Pemalang).

E.      Pakaian Adat
Pakaian adat dipakai pada acara khusus. Salah satunya berupa pesta perkawinan, upacara adat, dan sebagainya. Beberapa contoh pakaian adat dari provinsi Jawa Tengah yaitu, Tutup kepala pria bernama blangkon sedangkan baju wanita kebaya dan baju pria beskap.
Jenis busana dan kelengkapannya yang dipakai oleh kalangan wanita Jawa, khususnya di lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah adalah baju kebaya, kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang dipakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan.
Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup memakai kemben yang dipadukan dengan stagen dan kain jarik. Kemben dipakai untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup lebar dan panjang. Sedangkan stagen dililitkan pada bagian perut untuk mengikat tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.
Dewasa ini, baju kebaya pada umumnya hanya dipakai pada hari-hari tertentu saja, seperti pada upacara adat misalnya. Baju kebaya di sini adalah berupa blus berlengan panjang yang dipakai di luar kain panjang bercorak atau sarung yang menutupi bagian bawah dari badan (dari mata kaki sampai pinggang). Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang berukuran di sekitar pinggul atas sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh karena itu, wanita Jawa mengenal dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang berukuran sampai pinggul dan kebaya panjang yang berukuran sampai ke lutut.
Kebaya pendek dapat dibuat dari berbagai jenis bahan katun, baik yang polos dengan salah satu warna seperti merah, putih, kuning, hijau, biru dan sebagainya maupun bahan katun yang berbunga atau bersulam. Saat ini, kebaya pendek dapat dibuat dari bahan sutera, kain sunduri (brocade), nilon, lurik atau bahan-bahan sintetis. Sedangkan, kebaya panjang lebih banyak menggunakan bahan beludru, brokat, sutera yang berbunga maupun nilon yang bersulam. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya mereka diberi tambahan bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang berfungsi sebagai penyambung.
Baju kebaya dipakai dengan kain sinjang jarik/ tapih dimana pada bagian depan sebelah kiri dibuat wiron (lipatan) yang dililitkan dari kiri ke kanan. Untuk menutupi stagen digunakan selendang pelangi dari tenun ikat celup yang berwarna cerah. Selendang yang dipakai tersebut sebaiknya terbuat dari batik, kain lurik yang serasi atau kain ikat celup. Selain kain lurik, dapat juga memakai kain gabardine yang bercorak kotak-kotak halus dengan kombinasi warna sebagai berikut: hijau tua dengan hitam, ungu dengan hitam, biru sedang dengan hitam, kuning tua dengan hitam dan merah bata dengan hitam. Kelengkapan perhiasannya dapat dipakai yang sederhana berupa subang kecil dengan kalung dan liontin yang serasi, cincin, gelang dan sepasang tusuk konde pada sanggul.
Baju kebaya panjang biasanya menggunakan bahan beludru, brokat, sutera maupun nilon yang bersulam. Dewasa ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Dan umumnya digunakan juga oleh mempelai wanita Sunda, Bali dan Madura. Panjang baju kebaya ini sampai ke lutut, dapat pula memakai tambahan bahan di bagian muka akan tetapi tidak berlengkung leher (krah). Pada umumnya kebaya panjang terbuat dari kain beludru hitam atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi pinggiran baju. Kain jarik batik yang berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk pakaian ini, tetapi biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan untaian bunga melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang dipakai juga sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran yang dipakai di sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai sebagai busana upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga melati dan tusuk konde.
Meskipun seni busana berkembang baik di lingkungan keraton, tidak berarti busana di lingkungan rakyat biasa tidak ada yang khas. Busana adat tradisional rakyat biasa banyak digunakan oleh petani di desa. Busana yang dipakai adalah celana kolor warna hitam, baju lengan panjang, ikat pinggang besar, ikat kepala dan kalau sore pakai sarung. Namun pada saat upacara perkawinan, bagi orang tua mempelai biasanya mereka memakai kain jarik dan sabuk sindur. Bajunya beskap atau sikepan dan pada bagian kepala memakai destar.

F.       Rumah Adat
Rumah Adat Jawa Tengah / Masyarakat suku Jawa mengenal beragam desain hunian dalam budayanya. Salah satu yang laing dikenal adalah desain rumah adat bernama Joglo. Desain ini lebih dikenal karena selain lebih banyak digunakan juga dianggap memiliki gaya arsitektur yang unik serta sarat dengan nilai filosofis kemasyarakatan. 
1.      Arsitektur Rumah Joglo
Rumah Joglo dibangun dengan desain arsitektur yang cukup unik. Salah satu keunikan tersebut terletak pada desain rangka atapnya yang memiliki bubungan cukup tinggi. Desain atap yang demikian dihasilkan dari pola tiang-tiang yang menyangga rumah. Utamanya pada bagian tengah rumah, terdapat 4 tiang berukuran lebih tinggi yang menyangga beban atap. Keempat tiang yang kerap disebut “soko guru” ini menyangga dan menjadi tempat pertemuan rangka atap yang menopang beban atap.
Atap rumah adat Jawa Tengah ini sendiri dibuat dari bahan genting tanah. Sebelum genting ditemukan, pada masa silam atap rumah ini juga dibuat dari bahan ijuk atau alang-alang yang dianyam. Penggunaan desain rangka atap dengan bubungan tinggi dan material atap dari bahan alam merupakan salah satu hal yang membuat rumah Joglo terasa dingin dan sejuk. Adapun secara keseluruhan, rumah Joglo sendiri lebih banyak menggunakan kayu-kayuan keras, baik untuk dinding, tiang, rangka atap, pintu, jendela, dan bagian lainnya. Kayu jati adalah pilihan utama yang kerap ditemukan pada rumah-rumah lawas. Kayu jati sangat awet dan terbukti dapat bertahan lama bahkan hingga ratusan tahun.
2.      Fungsi Rumah Adat
Selain memiliki fungsi sebagai ikon budaya dan gambaran kehidupan sosial masyarakat Jawa, rumah Joglo pada dasarnya juga berfungsi sebagai tempat tinggal. Untuk menunjang fungsi yang satu ini, rumah adat Jawa Tengah ini dibagi menjadi beberapa susun ruangan dengan fungsinya masing-masing seperti terlihat pada denah di samping, yaitu:
a.   Pendapa
Bagian ini terletak di depan rumah. Biasanya digunakan untuk aktivitas formal, seperti pertemuan, tempat pagelaran seni wayang kulit dan tari-tarian, serta upacara adat. Meski terletak di depan rumah, tidak boleh dilewati sembarang orang yang hendak masuk ke dalam rumah. Jalur untuk masuk ada sendiri dan letaknya terpisah memutar samping pendapa.
b.   Pringitan
Bagian ini terletak antara pendapa dan rumah dalam (omah njero). Selain digunakan untuk jalan masuk, lorong juga kerap digunakan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit.
c.   Emperan
Ini adalah penghubung antara pringitan dan umah njero. Bisa juga dikatakan sebagai teras depan karena lebarnya sekitar 2 meter. Emperan digunakan untuk menerima tamu, tempat bersantai, dan kegiatan publik lainnya. Pada emperan biasanya terdapat sepasang kursi kayu dan meja.
d.   Omah njero
Bagian ini sering pula disebut omah mburi, dalem ageng, atau omah saja.  kadang disebut juga sebagai omah-mburi, dalem ageng atau omah. Kata omah dalam masyarakat Jawa juga digunakan sebagai istilah yang mencakup arti kedomestikan, yaitu sebagai sebuah unit tempat tinggal.
e.   Senthong-kiwa
Berada di sebelah kanan dan terdiri dari beberapa ruangan. Ada yang berfungsi sebagai kamar tidur, gudang, tempat menyimpaan persediaan makanan, dan lain sebagainya.
f.    Senthong tengah
Bagian ini terletak ditengah bagian dalam. Sering juga disebut pedaringan, boma, atau krobongan. Sesuai dengan letaknya yang berada jauh di dalam rumah, bagian ini berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti harta keluarga atau pusaka semacam keris, dan lain sebagainya .
g.   Senthong-tengen
Bagian ini sama seperti Senthong kiwa, baik fungsinya maupun pembagian ruangannya. 
h.   Gandhok
Merupakan bangunan tambahan yang letaknya mengitari sisi belakang dan samping bangunan inti. 


G.     Tarian
Tarian Jawa Tengah ada 3 jenis, yaitu tarian tradisional, tarian klasik dan tarian kreasi baru.
1.      Tarian Tradisional
Tari tradisional dari provinsi Jawa Tengah cukup terkenal di kancah kesenian nasional. Hal ini yang tentu tidak dapat dipisahkan dari keunikan tarian tersebut serta jasa para seniman baik dari wilayah tersebut maupun dari wilayah lain.
Adapun beberapa jenis tarian tradisional yang dikenal oleh masyarakat Jawa Tengah diantaranya adalah sbb:
Nama Tari
Tema
Asal
Kethek Ogleng
Kisah Kera Putih
Wonogiri
Sintren
Asmara
Pekalongan
Jlantur
Kepahlawanan
Jawa Tengah
Langen Asmara
Asmara
Surakarta
Driasmara
Asmara
Surakarta
2.      Tari Klasik
Sebagai tari tradisional yang mendapatkan sentuhan baru di dalamnya, tari klasik berperan penting dalam sejarah perjalanan dunia seni di Indonesia. Mayoritas dari tarian ini tercipta dan dikenal oleh masyarakat sejak masa kerajaan. Keunikan serta keragaman gerakan yang dimiliki masing-masing tari memberikan kesan menarik untuk disaksikan.
Adapun beberapa jenis tarian klasik yang dikenal oleh masyarakat Jawa Tengah diantaranya adalah sbb:
Nama Tari
Tema
Asal
Bondan
Kasih Sayang
Surakarta
Bedhaya
Asmara
Surakarta
Gambyong
Penghormatan
Surakarta
Beksan Wireng
Perang
Sidoarjo, Jawa Timur
Serimpi
Pergantian Raja
Yogyakarta
Kuda Lumping
Ritual Mistis
Jawa Tengah
Jathilan
Mistis
Yogyakarta
3.      Tari Kreasi Baru
Bukti berkembangnya kesenian tari di Indonesia salah satunya yakni dengan munculnya tari modern yang diperkenalkan oleh para seniman daerah. Kecintaan mereka dalam dunia seni membuktikan mampu menciptakan kreasi baru dalam sebuah hiburan di masyarakat.
Sebenarnya jenis tari modern yang dikenal oleh masyarakat Jawa Tengah terhitung sangat banyak jumlahnya, namun demikian beberapa tarian yang paling populer diantaranya adalah sebagai berikut.
Nama Tari
Tema
Asal
Prawiroguno
Kepahlawanan
Jawa Tengah
Kumbang
Asmara
Yogyakarta
Tari Merak
Hiburan
Pasundan
Tari Angsa
Hiburan
Jawa Tengah
Wira Pertiwi
Kepahlawanan
Jawa Tengah


No comments:

Post a Comment