Keanekaragaman suku bangsa, bahasa,
adat istiadat di Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki berbagai macam
kebudayaan yang berbeda-beda tiap daerah. Tetapi seiring denga kemajuan zaman,
kebudayaan daerah yang sudah dipegang teguh dan dipelihara sejak dulu
kini mulai dilupakan.Hal ini disebabkan karena pada umumnya
maasyarakat merasa malu apabila masih menggunakan budaya local ditengah-tengah
kemajuan teknologi saat ini. Mereka lebih memilih untuk menggunakan budaya
modern. Padahal budaya daerah sendiri merupakan pagar diri untuk menjalani
kehidupan di dunia ini karena kebudayaan daerah menyimpan nilai-nilai dan norma
kehidupan.
Jawa Tengah adalah sebuah
provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Provinsi ini
berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan
Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan
Laut Jawa di sebelah utara. Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya
kadang juga mencakup wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal
sebagai “jantung” budaya Jawa. Meskipun demikian di provinsi ini ada pula suku
bangsa lain yang memiliki budaya yang berbeda dengan suku Jawa seperti suku
Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat. Selain ada pula warga
Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang tersebar di seluruh
provinsi ini.
Kebudayaan yang ada di wilayah
Provinsi Jawa Tengah mayoritas merupakan kebudayaan Jawa, namun terdapat pula
kantong-kantong kebudayaan Sunda di wilayah sebelah barat yang berbatasan
dengan Provinsi Jawa Barat terutama di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap
Jawa Tengah adalah propinsi
dimana budaya jawa banyak berkembang disini karena di Jawa Tengah dahulu banyak
kerajaan berdiri disini itu terlihat dari berbagai peninggalan candi di Jawa
Tengah.
Kebudayaan Jawa merupakan salah
satu sosok kebudayaan yang tua. Kebudayaan Jawa mengakar di Jawa Tengah bermula
dari kebudayaan nenek moyang yang bermukim di tepian Sungai Bengawan Solo pada
ribuan tahun sebelum Masehi. Fosil manusia Jawa purba yang kini menghuni Museum
Sangiran di Kabupaten Sragen, merupakan saksi sejarah, betapa tuanya bumi Jawa
Tengah sebagai kawasan pemukiman yang dengan sendirinya merupakan suatu kawasan
budaya. Dari kebudayaan purba itulah kemudian tumbuh dan berkembang sosok
kebudayaan Jawa klasik yang hingga kini terus bergerak menuju kebudayaan
Indonesia.
A. Suku
Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah
dikenal sebagai pusat budaya
Jawa, di mana di kota Surakarta dan Yogyakarta terdapat pusat istana kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini.
Suku minoritas yang cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di
kawasan perkotaan meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan. Pada umumnya
mereka bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Komunitas Tionghoa sudah
berbaur dengan Suku Jawa, dan banyak di antara mereka yang menggunakan Bahasa
Jawa dengan logat yang kental sehari-harinya. Pengaruh kental bisa kita rasakan
saat berada di kota Semarang serta kota Lasem yang berada di ujung timur laut Jawa Tengah, bahkan Lasem dijuluki Le Petit Chinois atau Kota Tiongkok Kecil.
Selain itu di beberapa kota-kota besar di Jawa Tengah ditemukan pula
komunitas Arab-Indonesia. Mirip dengan
komunitas Tionghoa, mereka biasanya bergerak di bidang perdagangan dan jasa.
Di daerah
perbatasan dengan Jawa Barat terdapat pula orang Sunda yang sarat akan budaya Sunda, terutama di wilayah Cilacap, Brebes, dan
Banyumas. Di pedalaman Blora (perbatasan dengan provinsi Jawa Timur) terdapat komunitas Samin yang terisolir, yang kasusnya hampir sama dengan orang Kanekes di Banten.
B. Agama
Sebagian
besar penduduk Jawa Tengah beragama Islam yang umumnya dikategorikan ke dalam dua golongan, yaitu kaum Santri dan Abangan. Kaum santri
mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat Islam, sedangkan kaum abangan
walaupun menganut Islam namun dalam praktiknya masih terpengaruh Kejawen yang
kuat. Agama lain yang dianut adalah Kristen (Protestan dan Katolik), Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, dan aliran
kepercayaan lainnya. Provinsi Jawa Tengah merupakan pusat penyebaran Kristen
dan Katolik di Pulau Jawa. Seperti di Magelang, Surakarta dan Salatiga yang
memiliki populasi umat Kristen sekitar 15% hingga 25%.
C. Adat
istiadat
Adat istiadat adalah sebuah kebudayaan yang sudah menjadi tradisi pada
setiap masyarakat yang sudah menjadi ketentuan daerah tersebut. Salah satu
contoh sebuah adat istiadat yang masih dilakukan pada sebuah daerah, yaitu adat
istiadat yang terjadi pada masyarakat suku jawa tengah.
Ada beberapa adat istiadat yang biasa dilakukan oleh
masyarakat jawa tengah terutama yang terdapat pada seseorang yang sudah berumah
tangga. Seorang ibu yang menginginkan seorang anak, akan tetapi belum juga dikasih
maka seorang ibu tersebut mengadakan yang dinamakan mupu, mupu yaitu memungut
anak. Tujuannya agar menyebabkan hamilnya seorang ibu yang memungut anak. Pada
saat ibu hamil, jika wajahnya terlihat tidak bersih dan tidak tampak cantik
seperti biasanya, maka dapat disimpulkan bahwa anaknya adalah laki-laki, akan
tetapi, jika ibu wajahnya tampak bersih dan tampak cantik maka dapat
disimpulkan bahwa anaknya perempuan.
Ketika seorang ibu hamil memasuki kehamilannya yang 7 bulan,
maka akan diadakan acara tujuh bulanan atau mitoni. Tujuannya yaitu agar
seorang calon bayi dan calon ibu sehat dan lancar dalam persalinan nanti. Pada
tujuh bulanan ada beberapa ritual yang dilakukan, salah satunya yaitu calon ibu
di mandikan dengan air yang diambil dari tujuh sumber yang berbeda dan juga
ditambahkan bunga tujuh macam agar wangi. Ada juga masyarakat yang hanya
merayakan tujuh bulanan ini dengan acara selamatan khataman quran. Karena
simpel tidak terlalu ribet. Pada tujuh bulanan ini pasa masa sekarang tidak
hanya dilakukan pasa suku jawa, akan tetapi ada suku lain juga yang mengikuti
adat suku jawa ini.
Pada saat seorang bayi itu lahir, maka akan diadakan
selametan, biasanya sering juga disebut dengan brokohan. Pada saat brokohan
dilakukan, maka disediakan nasi tumpeng lengkap dengan sayur dan lauk pauknya.
Pada saat seorang bayi berusia 35 hari, maka diadakan acara selametan
selapanan, pada acara selapanan, rambut seorang bayi akan dipotong habis.
Tujuannya agar rambut bayi tersebut akan tumbuh lebat.
Adat selanjunya yaitu tedak-siten. Adat ini dilakukan
ketika seorang bayi beusia 8 atau 9 bulan. Adat seperti ini yaitu dimana
seorang bayi untuk pertama kalinya menginjak kakinya ke atas tanah. Dalam
pelaksanaan tedak siten ini orang tua harus membantu dengan menuntun sang anak
untuk berjalan diatas cobekan yang didalamnya berisi sesaji makanan sejenis
dodol yang terbuat dari bahan beras ketan berwarna putih dan merah serta beras
kuning. Setelah itu sang anak diturunkan ke atas tanah dengan dibimbing oleh
orang tuanya. Kemudian ibu dan sang anak masuk di dalam kurungan anak, didalam
kurungan tersebut tersedia berbagai mainan yang bisa dipilih oleh sang anak.
Ketika menjelang remaja, tiba waktunya seorang anak
ditetaki atau dikhitan.
Adat istiadat tersebut selalu dilakukan oleh masyarakat suku jawa. Tradisi ini masih selalu dilakukan oleh suku jawa setiap pertumbuhan sang bayi, sejak lahir yang selalu diadakan acara-acara yang sudah menjadi tradisi suku jawa sampai seorang anak tersebut memasuki tetaki atau khitan.
Adat istiadat tersebut selalu dilakukan oleh masyarakat suku jawa. Tradisi ini masih selalu dilakukan oleh suku jawa setiap pertumbuhan sang bayi, sejak lahir yang selalu diadakan acara-acara yang sudah menjadi tradisi suku jawa sampai seorang anak tersebut memasuki tetaki atau khitan.
D. Bahasa
Meskipun Bahasa Indonesia adalah
bahasa resmi, umumnya sebagian besar penduduk jawa tengah menggunakan Bahasa Jawa sebagai
bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Dialek Solo-Jogja atau Mataram dianggap
sebagai Bahasa Jawa Standar.
Di samping itu terdapat sejumlah dialek Bahasa Jawa; namun secara umum
terdiri dari dua, yakni kulonan dan timoran. Kulonan dituturkan di bagian
barat Jawa Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal; dialek ini
memiliki pengucapan yang cukup berbeda dengan Bahasa Jawa Standar.
Sedang Timuran dituturkan di bagian timur Jawa Tengah, di antaranya
terdiri atas Dialek Mataram (Solo-Jogja), Dialek Semarang, dan Dialek Pati. Di
antara perbatasan kedua dialek tersebut, dituturkan Bahasa Jawa dengan campuran
kedua dialek; daerah tersebut di antaranya adalah Pekalongan dan Kedu.
Di wilayah-wilayah berpopulasi Sunda, yaitu di kabupaten Brebes bagian
selatan, dan kabupaten Cilacap utara sekitar kecamatan Dayeuhluhur, orang Sunda masih menggunakan bahasa Sunda dalam
kehidupan sehari-harinya.
Berbagai
macam dialek Bahasa Jawa yang terdapat di Jawa Tengah :
1. Dialek Pekalongan (Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang).
2. Dialek Kedu (Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Wonosobo, Kota Magelang dan
sebagian Kabupaten Kebumen).
3. Dialek Bagelen (Kabupaten Purworejo dan sebagian Kabupaten Kebumen).
4. Dialek Semarangan (Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak).
5. Dialek Muria/Pantura Timur (Kabupaten Jepara, Kabupaten Rembang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pati).
6. Dialek Blora (Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora).
7. Dialek Surakarta (Kota Surakarta, Kabupaten
Klaten, Kabupaten Sragen, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar).
8. Dialek Banyumasan (Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten
Purbalingga, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Cilacap).
9. Dialek Tegal (Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang).
E. Pakaian Adat
Pakaian adat dipakai
pada acara khusus. Salah satunya berupa pesta perkawinan, upacara adat, dan
sebagainya. Beberapa contoh pakaian adat dari provinsi Jawa Tengah yaitu, Tutup
kepala pria bernama blangkon sedangkan baju wanita kebaya dan baju pria beskap.
Jenis busana dan kelengkapannya yang dipakai oleh kalangan
wanita Jawa, khususnya di lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta, Jawa
Tengah adalah baju kebaya, kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju
kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa
baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara
seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem misalnya, baju kebaya menggunakan
peniti renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian
kepala rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang
dipakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak
ketinggalan.
Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup memakai
kemben yang dipadukan dengan stagen dan kain jarik. Kemben dipakai untuk
menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup lebar dan
panjang. Sedangkan stagen dililitkan pada bagian perut untuk mengikat tapihan
pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.
Dewasa ini, baju kebaya pada umumnya hanya dipakai pada
hari-hari tertentu saja, seperti pada upacara adat misalnya. Baju kebaya di
sini adalah berupa blus berlengan panjang yang dipakai di luar kain panjang
bercorak atau sarung yang menutupi bagian bawah dari badan (dari mata kaki
sampai pinggang). Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang berukuran di
sekitar pinggul atas sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh karena itu,
wanita Jawa mengenal dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang berukuran
sampai pinggul dan kebaya panjang yang berukuran sampai ke lutut.
Kebaya pendek dapat dibuat dari berbagai jenis bahan katun,
baik yang polos dengan salah satu warna seperti merah, putih, kuning, hijau,
biru dan sebagainya maupun bahan katun yang berbunga atau bersulam. Saat ini,
kebaya pendek dapat dibuat dari bahan sutera, kain sunduri (brocade), nilon,
lurik atau bahan-bahan sintetis. Sedangkan, kebaya panjang lebih banyak
menggunakan bahan beludru, brokat, sutera yang berbunga maupun nilon yang
bersulam. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya mereka diberi tambahan
bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang berfungsi sebagai
penyambung.
Baju kebaya dipakai dengan kain sinjang jarik/ tapih dimana
pada bagian depan sebelah kiri dibuat wiron (lipatan) yang dililitkan dari kiri
ke kanan. Untuk menutupi stagen digunakan selendang pelangi dari tenun ikat
celup yang berwarna cerah. Selendang yang dipakai tersebut sebaiknya terbuat dari
batik, kain lurik yang serasi atau kain ikat celup. Selain kain lurik, dapat
juga memakai kain gabardine yang bercorak kotak-kotak halus dengan kombinasi
warna sebagai berikut: hijau tua dengan hitam, ungu dengan hitam, biru sedang
dengan hitam, kuning tua dengan hitam dan merah bata dengan hitam. Kelengkapan
perhiasannya dapat dipakai yang sederhana berupa subang kecil dengan kalung dan
liontin yang serasi, cincin, gelang dan sepasang tusuk konde pada sanggul.
Baju kebaya panjang biasanya menggunakan bahan beludru,
brokat, sutera maupun nilon yang bersulam. Dewasa ini, baju kebaya panjang
merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Dan umumnya digunakan juga oleh
mempelai wanita Sunda, Bali dan Madura. Panjang baju kebaya ini sampai ke
lutut, dapat pula memakai tambahan bahan di bagian muka akan tetapi tidak
berlengkung leher (krah). Pada umumnya kebaya panjang terbuat dari kain beludru
hitam atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi pinggiran baju. Kain jarik
batik yang berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk pakaian ini, tetapi biasanya
tanpa memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan untaian bunga melati dan
tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang dipakai juga sederhana, yaitu
sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran yang dipakai di sebelah depan
pusat kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai sebagai busana upacara biasa,
maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga melati dan tusuk konde.
Meskipun seni busana berkembang baik di lingkungan keraton,
tidak berarti busana di lingkungan rakyat biasa tidak ada yang khas. Busana
adat tradisional rakyat biasa banyak digunakan oleh petani di desa. Busana yang
dipakai adalah celana kolor warna hitam, baju lengan panjang, ikat pinggang
besar, ikat kepala dan kalau sore pakai sarung. Namun pada saat upacara
perkawinan, bagi orang tua mempelai biasanya mereka memakai kain jarik dan
sabuk sindur. Bajunya beskap atau sikepan dan pada bagian kepala memakai
destar.
F. Rumah Adat
Rumah Adat Jawa Tengah / Masyarakat suku Jawa mengenal beragam desain hunian
dalam budayanya. Salah satu yang laing dikenal adalah desain rumah adat bernama
Joglo. Desain ini lebih dikenal karena selain lebih banyak digunakan juga
dianggap memiliki gaya arsitektur yang unik serta sarat dengan nilai filosofis
kemasyarakatan.
1. Arsitektur Rumah Joglo
Rumah Joglo
dibangun dengan desain arsitektur yang cukup unik. Salah satu keunikan tersebut
terletak pada desain rangka atapnya yang memiliki bubungan cukup tinggi. Desain
atap yang demikian dihasilkan dari pola tiang-tiang yang menyangga rumah.
Utamanya pada bagian tengah rumah, terdapat 4 tiang berukuran lebih tinggi yang
menyangga beban atap. Keempat tiang yang kerap disebut “soko guru” ini
menyangga dan menjadi tempat pertemuan rangka atap yang menopang beban atap.
Atap rumah adat Jawa Tengah ini sendiri dibuat dari bahan genting tanah.
Sebelum genting ditemukan, pada masa silam atap rumah ini juga dibuat dari
bahan ijuk atau alang-alang yang dianyam. Penggunaan desain rangka atap dengan
bubungan tinggi dan material atap dari bahan alam merupakan salah satu hal yang
membuat rumah Joglo terasa dingin dan sejuk. Adapun secara keseluruhan, rumah
Joglo sendiri lebih banyak menggunakan kayu-kayuan keras, baik untuk dinding,
tiang, rangka atap, pintu, jendela, dan bagian lainnya. Kayu jati adalah
pilihan utama yang kerap ditemukan pada rumah-rumah lawas. Kayu jati sangat
awet dan terbukti dapat bertahan lama bahkan hingga ratusan tahun.
2. Fungsi Rumah Adat
Selain memiliki fungsi sebagai ikon budaya dan gambaran kehidupan sosial
masyarakat Jawa, rumah Joglo pada dasarnya juga berfungsi sebagai tempat
tinggal. Untuk menunjang fungsi yang satu ini, rumah adat Jawa Tengah ini
dibagi menjadi beberapa susun ruangan dengan fungsinya masing-masing seperti
terlihat pada denah di samping, yaitu:
a. Pendapa
Bagian ini terletak di depan
rumah. Biasanya digunakan untuk aktivitas formal, seperti pertemuan, tempat
pagelaran seni wayang kulit dan tari-tarian, serta upacara adat. Meski terletak
di depan rumah, tidak boleh dilewati sembarang orang yang hendak masuk ke dalam
rumah. Jalur untuk masuk ada sendiri dan letaknya terpisah memutar samping
pendapa.
b. Pringitan
Bagian ini terletak antara
pendapa dan rumah dalam (omah njero). Selain digunakan untuk jalan masuk,
lorong juga kerap digunakan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit.
c. Emperan
Ini adalah penghubung antara
pringitan dan umah njero. Bisa juga dikatakan sebagai teras depan karena
lebarnya sekitar 2 meter. Emperan digunakan untuk menerima tamu, tempat
bersantai, dan kegiatan publik lainnya. Pada emperan biasanya terdapat sepasang
kursi kayu dan meja.
d. Omah njero
Bagian ini sering pula
disebut omah mburi, dalem ageng, atau omah saja. kadang disebut juga
sebagai omah-mburi, dalem ageng atau omah. Kata omah dalam masyarakat Jawa juga
digunakan sebagai istilah yang mencakup arti kedomestikan, yaitu sebagai sebuah
unit tempat tinggal.
e. Senthong-kiwa
Berada di sebelah kanan dan
terdiri dari beberapa ruangan. Ada yang berfungsi sebagai kamar tidur, gudang,
tempat menyimpaan persediaan makanan, dan lain sebagainya.
f. Senthong
tengah
Bagian ini terletak ditengah
bagian dalam. Sering juga disebut pedaringan, boma, atau krobongan. Sesuai
dengan letaknya yang berada jauh di dalam rumah, bagian ini berfungsi sebagai
tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti harta keluarga atau pusaka
semacam keris, dan lain sebagainya .
g. Senthong-tengen
Bagian ini sama seperti Senthong
kiwa, baik fungsinya maupun pembagian ruangannya.
h. Gandhok
Merupakan
bangunan tambahan yang letaknya mengitari sisi belakang dan samping bangunan
inti.
G. Tarian
Tarian Jawa Tengah ada 3 jenis, yaitu tarian tradisional, tarian klasik
dan tarian kreasi baru.
1. Tarian Tradisional
Tari tradisional dari provinsi Jawa
Tengah cukup terkenal di kancah kesenian nasional. Hal ini yang tentu tidak
dapat dipisahkan dari keunikan tarian tersebut serta jasa para seniman baik
dari wilayah tersebut maupun dari wilayah lain.
Adapun beberapa jenis tarian
tradisional yang dikenal oleh masyarakat Jawa Tengah diantaranya adalah sbb:
Nama
Tari
|
Tema
|
Asal
|
Kethek Ogleng
|
Kisah Kera Putih
|
Wonogiri
|
Sintren
|
Asmara
|
Pekalongan
|
Jlantur
|
Kepahlawanan
|
Jawa Tengah
|
Langen Asmara
|
Asmara
|
Surakarta
|
Driasmara
|
Asmara
|
Surakarta
|
2.
Tari Klasik
Sebagai
tari tradisional yang mendapatkan sentuhan baru di dalamnya, tari klasik berperan
penting dalam sejarah perjalanan dunia seni di Indonesia. Mayoritas dari tarian
ini tercipta dan dikenal oleh masyarakat sejak masa kerajaan. Keunikan serta
keragaman gerakan yang dimiliki masing-masing tari memberikan kesan menarik
untuk disaksikan.
Adapun beberapa jenis
tarian klasik yang dikenal oleh masyarakat Jawa Tengah diantaranya adalah sbb:
Nama Tari
|
Tema
|
Asal
|
Bondan
|
Kasih Sayang
|
Surakarta
|
Bedhaya
|
Asmara
|
Surakarta
|
Gambyong
|
Penghormatan
|
Surakarta
|
Beksan Wireng
|
Perang
|
Sidoarjo, Jawa Timur
|
Serimpi
|
Pergantian Raja
|
Yogyakarta
|
Kuda Lumping
|
Ritual Mistis
|
Jawa Tengah
|
Jathilan
|
Mistis
|
Yogyakarta
|
3.
Tari Kreasi Baru
Bukti berkembangnya kesenian tari di
Indonesia salah satunya yakni dengan munculnya tari modern yang diperkenalkan
oleh para seniman daerah. Kecintaan mereka dalam dunia seni membuktikan mampu
menciptakan kreasi baru dalam sebuah hiburan di masyarakat.
Sebenarnya jenis tari modern yang dikenal
oleh masyarakat Jawa Tengah terhitung sangat banyak jumlahnya, namun demikian beberapa
tarian yang paling populer diantaranya adalah sebagai berikut.
Nama
Tari
|
Tema
|
Asal
|
Prawiroguno
|
Kepahlawanan
|
Jawa Tengah
|
Kumbang
|
Asmara
|
Yogyakarta
|
Tari Merak
|
Hiburan
|
Pasundan
|
Tari Angsa
|
Hiburan
|
Jawa Tengah
|
Wira Pertiwi
|
Kepahlawanan
|
Jawa Tengah
|
No comments:
Post a Comment